Senin, 29 Juli 2013

Udara segar, belum terkontaminasi polusi pabrik dan asap kendaraan bermotor serta hijau daun, masih asri warnanya. Hanya sesekali tersentuh debu-debu jalan yang ingin menghampiri sekedar bercerita sedikit. Terkadang kupu-kupu yang menyorotkan sejuta warna, berputar-putar mengitari taman di sudut desa yang sering aku  kunjungi demi hanya melepaskan lelah setelah berhari-hari sibuk dengan aktivitas sekolah. Ya, ku pikir inilah tempat yang paling bisa menghiburku dari setiap masalah. Teman yang paling bisa mengerti perasaanku bila semua orang memaksaku dengan keputusan mereka karena taman ini tidaklah rusak walaupun disiram hujan berkepanjangan.
Ah…aku terlalu nyaman dengan posisiku sekarang. Mendapatkan pekerjaan yang baru saja aku senangi semenjak 3 tahun yang lalu. Menikmati pekerjaan yang dulu sama sekali bukan cita-citaku tapi ternyata sangatlah menyenangkan. Memang aku tidak bisa merealisasikan angan-anganku dulu ke dalam keadaan nyata. Tapi setidaknya aku bisa membagi ilmuku untuk anak-anak seumurku dulu. Ketika aku memimpikan untuk bisa menjadi pembaca puisi terkenal seperti Chairil Anwar. Atau aktris professional seperti Dian Sastro. Aku bisa melatih mereka kapan aku mau, tentunya atas kemauan mereka. Aku bisa menumpahkan seluruh ilmuku ke otak anak-anak yang mempunyai hobby sama sepertiku, sewaktu aku ingin menjadi anak terhebat dan melirik perhatian orang banyak.
Tapi ada satu titik kelemahanku yaitu aku selalu kalah dengan udara bulan Desember. Bulan di mana mengharuskanku selalu minum obat influenza setiap waktu karena cuaca Desember yang tidak pernah bersahabat dengan tubuhku. Kalau tidak bapak dan Ibu pasti akan menceramahiku dan memaksa memasukkan obat dari bidan ke mulutku. Tapi itulah salah satu bentuk kasih sayang  mereka. Dari kecil aku terlalu sensitive dengan musim hujan dan udara dingin. Makanya bapak dan ibu mati-matian menjagaku. Tak satupun keinginanku yang mereka tolak kecuali berpisah jauh dari mereka. Mungkin kiarena aku adlah anak semata wayang yang diharapkan menjadi penerus bapak untuk memimpin Yayasan Pendidikan MAS yang kami punya. Mengajar TPQ setiap ba’da Maghrib dan membantu memimpin Yasinan ibu-ibu setiap hari Jum’at di desa kami. Desa yang mayoritas masyarakatnya kurang memahami ilmu agama, walaupun hampir seluruhnya berasal dari pulau Jawa. Pulau yang konon katanya banyak pondok pesantren.
Pagi itu hujan kembali menyiram rumah-rumah beratap seng. Suaranya benar-benar mencemaskan hati semua warga. Bisa saja guyuran air hujan itu melapukkan bahan dasar rumah dari kayu itu. Oh tidak,jika itu terjadi berarti rumahku juga akan jadi korban amukan air hujan. Tapi tidak sekejam itu, Tuhan menurunkan hujan bukan untuk merusak rumah-rumah manusia melainkan menyuburakan tanaman-tanaman di kebun. Ko’ hujan tak kunjung reda ya? Tanyaku dalam hati. Padahal hari ini aku harus ke sekolah. Aku pun sudah meminum obat tanpa diingatkan oleh kedua orang tuaku. Karena aku harus dalam keadaan fit untuk melatih anak-anak membaca puisi dan drama. Ya, di sekolah aku membuat sanggar teater kecil-kecilan. Bukan hanya anak-anak di sekolah kami saja yang bergabung di sini. Tapi juga anak-anak SMAN di desa kami. Ada sebuah kepuasan tersendiri di batinku. Paling tidak, tak hanya satu dua orang yang menjadi penerus hobbyku.
Ini telah kujalani semenjak tiga tahun lalu. Memang tiga tahun  bukanlah waktu yang sebentar.Tiga tahun sudah umurku lepas dari 23. Berarti umurku sudah menginjak 26 tahun. Tapi tidak pernah terlintas di alam fikirku tentang pernikahan. Aku terlalu nyaman dengan kebebasanku mengembangkan ide-ide dan kreativitasku untuk anak-anak. Jika saja tidak pernah ada orang yang mengingatkanku tentang pernikahan, niscaya aku akan lupa. Hasna, Aini, ina, Aca dan teman-temanku lainnya. Mereka sudah menikah dan rata-rata sudah mempunyai anak-anak. Berarti aku sudah menjadi seorang tante bagi anak-anak mereka. “ Jadi kapan kamu menyusul?” Ledek Hasna ketika mengunjungiku semenjak beberapa tahun terpisah. Jawaban apa yang harus ku berikan untuk menyenangkan hati sahabat-sahabatku? Dan siapa laki-laki yang akan ku jadikan korban seandainya mereka menanyakan siapa yang akan bakal menjadi suamiku?
“ kamu sudah kerja, umurmu juga sudah dewasa dan cita-citamu ku rasa sudah kau nikmati, Kita sengaja mengunjungimu untuk menjemput undangan. Jangan sampai kamu baru mau merried bareng anak-anak kami, keponakanmu. Sahut Aini sambil menepuk pundakku. Membuyarkan kecemasan serta menambah beban. Akh…kalian tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan.
            Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Menuruti kemauan mereka? Sahabat, orang-orang dan mungkin juga kedua orang tuaku? Aku belum terfikir ke arah sana karena aku belum menemukan laki-laki yang cocok setelah beberapa tahun yang lalu. Ya, aku sudah cukup sakit hati dengan yang namanya laki-laki. Hendra namanya. Dia adalah satu-satunya laki-laki yang meninggalkanku di bulan Desember ketika musim hujan. Musim di mana aku  membutuhkan banyak perhatian untuk kesehatanku. Tapi sudahlah, itu hanyalah masa lalu yang hanya akan menyesakkan dadaku jika dikenang. Sekarang aku harus mulai membuka diri untuk yang namanya laki-laki dan bisa mengisi hari-hariku meskipun tidak seseai keinginan hati. Karena menurut orang tua, usia sepertiku sudah susah mencari pacar. Benarkah?” Aku tidak akan membiarkan usiaku sampai kepala tiga”. Gumamku.
***
            Malam ini malam Jum’at. Hujan deras sekali, ditambah angin kencang yang mirip dengan badai jika dibayangkan. Bisa saja sewaktu-waktu merobohkan rumah bahkan menerbangkannya yang rata-rata berdiri di tepi sungai. Jika saja di dunia ini tidak ada bahan keras seperti kayu sebagai bahan pembuat rumah yang tentunya maha karya Rabbi, pastilah semua isinya sudah meleleh disiram air hujan setiap hari. Hah, begitu menyeramkan. Seperti mau kiamat. Astaghfirullah, malam ini malam Jum’at. Menurut cerita kiamat akan datang pada hari Jum’at. My God! Celakalah aku, mana belum merried lagi! Bakal jadi wanita paling  rugi di dunia.
            Tok…tok…tok! Suara ketukan pintu dari luar kamar membuyarkan kecemasanku. Kamu sudah tidur sayang? Suara Bapak dari luar. Aku segera keluar menemui Bapak, pasti ada yang ingin dibicarakan kalau jam segini (pukul 21.30 WIB) beliau memanggilku.” Ada apa Pak? Aku bermamksud mencari tahu. “ begini, sebenarnya besok ada undangan penataran guru Bahasa Indonesia di Provinsi. Pak Rahmat meminta kamu untuk menggantikannya karena istrinya sedang sakit. Gimana menurutmu? Aku langsung tertawa mendengar pertanyaan bapak. Ya tentu saja aku sangat senang karena pertama: aku sudah lama tidak ke kota, mengunjungi tempat biasa aku berbelanja sewaktu kuliah dulu. Kedua, aku memang senang pelajaran Bahasa Indonesia. Paling tidak ada tambahan sedikit ilmu untukku.
“ Pak, kalau soal itu nggak perlu ditanyakan lagi, Myta pasti mau “ Jelasku menenangkan Bapak.
“ Ia, lagian kamu pasti ingin reunian dengan teman-teman kuliahmu di kota? Kamu bisa mengunjungi kaampusmu, dosen-dosenmu”. Apa maksud Ibu? Pikirkubertanya-tanya. Ah, sudahla, mungkin Ibu terlalu mengerti perasaanku.
Pukul 04.00 WIB aku harus bangun dan mandi.  Padahal aku paling alergi mandi subuh. Pasti tubuhku akan menggigil kedinginan dan masuk angina. Tambah lagi harus menahan udara dingin ketika di speet boat. Oh…penderitaan yang tiada tara, gumamku. Jika saja Jambi bukan kota yang menyenangkan dengan budaya ke-Melayuannya niscaya tak akan kukorbankan badanku hanya untuk berdingin-dingin ria di kendaraan yang rasanya membekukan aliran darah dan tulang sum-sum.
            Tepat pukul 09.00 WIB aku sampai ke kota. Langsung saja aku menuju hotel yang telah dipesan panitia penataraan.  Hari ini sengaja ku manfaatkan waktu untuk sekedar beristirahat demi menyembuhkan masuk anginku sampai pukul 17.30 WIB. Setelah itu baru aku berkenalan dengan peserta lain yang juga baru tiba di hotel. Bola mataku tak berhenti melirik kesana kemari hanya untuk mencari-cari orang yang barangkali ku kenal. Aha…benar saja, wanita yang baru tiba itu sepertinya aku kenal. Bukannya dia guru Bahasa Indonesiaku dulu, sewaktu di SLTA? Aku langsung menghampirinya. Subhanallah! beliau masih tetap cantik seperti dulu. Aku langsung mengajaknya satu kamar  denganku.

***
            Hari ini adalah hari pertama penataran. Seperti acara pelatihan pada umumnya, panitia memulainya dengan acara pembukaan. Kemudian dilanjutkan dengan materi pertama.  Segera saja ku persiapkan buku dan pena untuk mencatat  hal-hal penting yang akan disampaikan oleh  Bapak pemateri itu. Aku perhatikan beliau. Jika diperhatikan, beliau mirip seseorang yang pernah aku kenal dekat.  Performancenya, benar-benar mirip Pak Agus, guru idolaku sewaktu di SLTP  Tapi ada  sedikit yang beda yaitu kalau Pak Anwar ( nama pemateri itu)  selalu memakai dasi di lehernya, berbeda dengan Pak Agus, beliau selalu tampil rapi dengan kesederhanaannya. Aku langsung mengangkat tangan ketika moderator membuka season pertanyaan. Entah pertanyaanku jelek atau bagus, peserta lain memberi tepuk tangan.
            Ternyata dari beberapa orang penanya, ada satu orang yang sepertinya masih asing dalam penglihatanku. Aku baru melihatnya detik ini. Masih muda, dan manis. Dari gaya bicaranya kelihatannya dia pintar. Ferry Hernanda namanya, dari salah satu SLTA di Provinsi. Begitu data sementara yang aku peroleh.
            Selama dua hari  penataran, kelihatannya aku dan Ferry yang selalu mendominasi kesempatan bertanya. Wah rasanya gedung penataran milik kami berdua. Oh..bagaimana nasibku setelah ini? Keluhku dalam hati. Dia terlalu berwibawa untuk ku dekati. Ah tidak mungkin, aku kan seorang guru, tidak mungkinlah  aku agresif seperti ini. Pikirku  “Pertanyaanmu selalu berbobot ya”, puji seseorang ketika sedang makan siang di hotel. Eh, Pak Ferry,! Aku terkejut  ketika diam-diam Ferry menghampiriku.
“Alumni Universitas mana dulu?”
Dari UGM alias Universitas gedung Mendalo alias IAIN” Candaku. Kami tertawa sebisanya.  Ya, Mendalo adalah nama daerah letak kampusku dulu. “Ehm…kalau Bapak alumni dari mana?” Akhirnya ku beranikan juga untuk bertanya!”. Saya alumni UNAN Padang Fakultas Pendidikan jurusan Bahasa dan sastra Indonesia” Jawabnya. Dengan nada bangga. Sombong sekali pikirku, siapa juga yang nanya dari fakultas dan jurusan mana. Gumamku.
            Tanpa pamit Ferry meninggalkanku begitu saja ketika Pak anwar memanggilnya. Baru Pak Anwar yang manggil, gimana kalau Presiden? Gumamku Ternyata dia tidak sebaik dugaanku semula. Kesimpulanku sekarang dia laki-laki yang tidak baik dijadikan pacar. Huh…siapa juga yang mau jadiin aku pacar? Tawaku sendirian.
            Pada hari ketiga penataran, panitia membagi peserta menjadi 10 kelompok. Masing-masing kelompok harus mengumpulkan kreatifitas anggotanya untuk mengajar bahasa Indonesia secara menyenangkan. Ah gampang pikirku. Aku kan alumni dari fakultas pendidikan  dan jurusan bahasa juga. Setidaknya aku  tidak kalah dibandingkan dengan guru-guru yang lain.
                                                            ***
Hah…kenapa aku sekolompok dengan dia? Lelaki tersombong yang baru saja aku kenal, gumamku.  “Hai, kita ketemu lagi rupanya” sapanya. Ia, panitia baik banget ya, jadiin kita satu kelompok. Jawabku dengan nada ketus. Ferry langsung mengambil tempat  di sudut ruang penataran dan mengajak peserta lain menuju ke sana. Aku menurut saja. Anggota kelompok kami memilih Ferry menjadi ketua dan aku sendiri menjadi sekretaris. Ya Tuhan,  mana mungkin aku kerjasama dengan orang yang sudah ku cap kejelekannya.
“Bu Myta, anda ketik hasil diskusi kelompok kita ya?” Perintah Ferry. Emang aku pembantumu. Gumamku  dalam  hati. Tapi bagaimanapun aku harus mengerjakan tugas ini karena anggota yang lain mempercayaiku untuk menjadi sekretaris kelompok. Wah, capek juga ngetik, pikirku. Apalagi sebenarnya aku tidak lancar ngetik. Mendingan aku disuruh nulis di kertas. Ya Tuhan, diskusi kelompok sudah hampir selesai, tapi baru sedikit hasil ketikanku. Sepertinya Ferry memperhatikan kegelisahanku. Sebelum akhirnya menutup diskusi kelompok.
Sudah selesai Myt? Tanyanya. Aku diam saja karena pastinya  Ferry pasti hanya akan mentertawakanku.
“Sini aku Bantu?
“Nggak usah, ini sudah tugasku”
 Tiba-tiba kepala pusing dan perutku mual karena menahan lapar sejak tadi. “ “Kamu kelihatannay capek Myt?”
Aku nggak apa-apa kok Pak! Jelasku. Aku tidak boleh kelihatan lemah di hadapan Ferry. Sok baik banget sih, gumamku dalam hati. Lebih baik aku meninggalkannya, pikirku.
Tapi sebelum aku beranjak dari tempat dudukku, tiba-tiba saja duniaku gelap. Aku tidak sadarkan diri. Dan ketika bangun, guru-guru sudah berada di sekelilingku. Saya kenapa Bu? Tanyaku pada Bu Dewi. Bu dewi menjelaskan semuanya, ternyata Ferry  yang membawaku ke puskesmas terdekat. Dia khawatir banget lo dengan keadaanmu”. Bu dewi menjelaskan. Mereka meninggalkanku ketika Ferry datang.”Itu akibatnya kalau ngeyel!” Ferry menggodaku. Kamu punya penyakit mag? Tanyanya. Aku hanya mengiyakan. Makasih ya Pak, atas semuanya” ucapku. Ternyata Ferry tidak sejelek dugaanku.
                                                           ***
            “ Kamu  sering menulis puisi?” Tanyanya mengejutkanku. Dari mana dia tahu kalau aku sering menulis puisi? Ku tatap matanya, berusaha mencari tahu.. “Heran ya? Dari mana aku tahu kalau kamu suka menulis  puisi? Ni buku kumpulan puisimu”. Ferry menyodorkan buku berwarna hijau mudaku. Memang aku sering menulis puisi di buku itu semenjak aku masih duduk di bangku kuliah. “Bukumu terjatuh ketika kamu pingsan kemarin “. Ferry akhirnya menjelaskan.” Thanks ya”. Ucapku.” Pernah dikirim ke penerbitan? Ku rasa puisi-puisimu sangat layak dimuat?
”Hah…kamu hanya menyenangkanku saja”
“Aku berkata jujur, aku punya teman di penerbitan.. dia sering memuat cerpenku.”       
Hah…dia penulis  cerpen? My God, aku tidak salah  kalau ngefans sama dia”
Ya, aku memang sangat ingin tulisanku dimuat”  Sebuah ucapan kejujuran dari mulutku pun keluar.
Kita akan menjadi sepasang penulis  sekaligus guru  yang professional” Ucapnya. “What?Sepasang?”  Tanyaku dengan ekspresi heran.
Ia, aku mengagumimu, sejak pertama kali melihatmu di gedung penataran. “Dan Aku harap setelah ini kita bisa menyatu  dalam nada-nada hidup kita.”. Ya Tuhan…bahasanya begitu puitis, sepuitis lirik puisi Kahlil Gibran . Aku tidak menyangka masa penataranku berending dengan harapanku selama ini. Bagai  sebuah mimpi, Desemberku yang selalu hujan dan menyakitkan dihentikan oleh matahari yang baru saja ku kenal. Ya, matahari jingga yang baru saja menyentuh hatiku.